Rabu, 22 Februari 2012

SDM Di Sekolah Dalam Pengelolaan TIK

1.   Penyiapan SDM Sekolah dalam Penerimaan Terhadap TIK
Yang dimaksud dengan SDM dalam modul  ini adalah tenaga pendidik yakni kepala sekolah dan guru dan tenaga kependidikan yang meliputi pegawai tata usaha, laboran, pustakawan, teknisi dan pembantu pelaksana. Walaupun pada dasarnya peserta didik adalah bagian terbesar dari SDM di sekolah, tetapi modul  ini tidak mengangkat isu tentang peserta didik, mengingat bahwa peserta didik merupakan subjek akhir dari pengelolaan TIK.
Dalam pengembangan sekolah salah satu indikator yang penting adalah unsur SDM. Sekolah harus  memiliki sumber daya manusia yang profesional dan tangguh, baik guru maupun kepala sekolah, tenaga pendukung (tenaga komputer, laboran, pustakawan, tata usaha, dsb). Profesionalisme pendidik dan tenaga pendidikan ditunjukkan oleh penguasaan bidang kerjanya, etos kerjanya, penguasaan bahasa asing, (Bahasa Inggris khususnya), penguasaan TIK  mutakhir dan canggih bagi pekerjaannya, berstandar internasional, dan etika global.
SDM akan berkembang jika mereka melakukan perubahan. Oleh karena itu perubahan pada tataran individu harus terus didorong. Untuk berubah, manusia perlu belajar sebab berubah berarti memasuki pola hidup baru yang belum dikuasai sebelumnya sehingga pola itu belum tertransfer ke otak (deBono, 1980). Untuk ini orang perlu belajar terlebih dahulu, sebab ‘change is learning’ [berubah adalah belajar] (Dalin et al., 1993, p.15). Ini selaras dengan Sternberg ketika memberi definisi belajar sebagai ‘any relatively permanent change in the behaviour, thoughts and feelings …that result from experience’ [ setiap perubahan yang relatif permanen dalam tingkah laku, pikiran dan perasaan sebagai hasil dari pengalaman] (Stenberg, 1994, p.236). Artinya, walaupun orang tidak berniat melakukan perubahan sebelum memulai proses belajar, jika belajarnya berhasil, akan terjadi juga perubahan pada dirinya. Disamping itu, agar perubahan terjadi sesuai dengan arah yang diinginkan, manajemen perubahan yang tertata baik mutlak diperlukan. Jika dua pernyataan ini diterima, strategi pengembangan SDM di sekolah rintisan SBI akan merupakan gabungan atau turunan dari dua kata kunci di atas: belajar dan manajemen perubahan.
Jika kehadiran TIK dianggap sebuah perubahan di sekolah, maka tidak semua SDM sekolah langsung dapat menerima. Banyak yang  salah satu tugas kepala sekolah adalah menyiapkan SDM sekolah untuk siap menerima perubahan tersebut. Kesiapan penerimaan terhadap TIK tentu tidak dapat terjadi secara tiba-tiba tetapi melalui sebuah proses dimulai dari kesadaran tentang kehadiran TIK, pemahaman tentang manfaat TIK dan kesediaan menerima kehadiran TIK.
Penerapan TIK dapat dijadikan strategi untuk mengubah SDM di sekolah. Seperti halnya pada penerapan  Total Quality Management  (TQM), juga terjadi proses rekursif dalam aplikasi TIK di sekolah. Agar TIK dapat diaplikasikan dengan maksimal, diperlukan SDM yang bermutu. Sebaliknya, penggunaan TIK secara sungguh-sungguh akan membantu meningkatkan kualitas SDM.
Untuk pengelolaan TIK di sekolah pada hakekatnya adalah tugas yang melekat pada diri kepala sekolah. Kepala sekolah dapat menugaskan tenaga pengelola TIK sesuai dengan ketersediaan SDM dan kebutuahn yang ada. Beberapa sekolah memiliki tim khusus yang menangani TIK (tim Pusat Sumber Belajar), ada pula yang menugaskan guru TIK sekaligus sebagai tenaga pengelola TIK, ada pula yang mengangkat tenaga honorer untuk mengelola TIK. Diharapkan semua calan pengelola ini siap menerima kehadiran TIK dan siap melakukan pengelolaannya.
2.   Sosialisasi Pemanfaatan dan Pengelolaan TIK
Konsep pengembangan SDM TIK untuk pendidikan dimulai dari tahap sosialisasi (pengenalan, advokasi atau penyadaran) terlebih dahulu. Dilanjutkan dengan pelatihan dan kemudian pendampingan. Dengan harapan, setelah itu akan terbentuk suatu komunitas jaringan SDM TIK untuk pendidikan. Sementara, sasarannya itu sendiri adalah 1) para pemanfaat (pengguna) yaitu guru melalui kegiatan sosialisasi, pelatihan, pendampingan pemanfaatan TIK yang pada akhirnya akan terbangun komunitas pemanfaat TIK; 2) para pengembang TIK (guru, aktifis TIK, dan masyarakat secara umum melalui pola kegiatan yang sama; 3) para pengelola TIK (penangung jawab, koordinator, teknisi, helpdesk baik level pusat, provinsi, maupun daerah); serta 4) para tim teknis Jardiknas yang akan mendapat pola pendidikan sertifikasi teknisi Jardiknas.
Sosialiasi
Sosialisasi merupakan pengertian yang mencakup proses untuk memperkenalkan TIK dan mendiskusikan manfaat-manfaat yang diperoleh dari TIK  bagi pengembangan pendidikan.  Proses sosialisasi dapat dimaknai sebagai membuka pintu gerbang sekolah  agar TIK  diterima dan mendapat sambutan dengan baik. Hal ini akan menentukan dukungan dan keterlibatan komunitas sekolah dalam memanfaatkan TIK.  Dengan demikian sosialisasi  dilakukan pada tahap awal pendirian intervensi TIK  untuk membangkitkan kesadaran masyarakat sekolah (guru dan siswa) terhadap keberadaan dan jasa layanan TIK
Sosialisasi mempunyai   tujuan sebagai berikut:
a.   Memperkenalkan  TIK  dan layanannya
b.      Menarik perhatian
c.      Pemahaman
d.      Perubahan sikap
e.      Tindakan

3.   Pelatihan, Kursus, dan In House Training (IHT)  Pengelolaan TIK
Untuk meningkatkan kualitas SDM pengelola TIK di sekolah, sekolah dapat menugaskan staf/guru untuk mengikuti Diklat atau Pelatihan. Pelatihan  umumnya diselenggarakan oleh lembaga atau organisasi yang memiliki tugas pembinaan terhadap sekolah tentang pemanfaatan TIK, salah satunya adalah Pustekkom. Begitu juga Dinas Pendidikan  Kabupaten/Kota dapat melakukan Pelatihan  Pengelolaan TIK.
Berbeda dengan pendidikan, pelatihan bersifat luwes dalam hal waktu. Pelatihan dapat dilangsungkan dari bilangan jam sampai bilangan bulan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan. Pelatihan  dapat diselenggarakan dengan materi sesuai dengan kebutuhan atau keinginan sehingga hampir semua fungsi pendidikan di sekolah dapat di-diklat-kan: manajemen, kepemimpinan, proses belajar mengajar, administrasi, termasuk di dalamnya diklat pengelolaan TIK. Instruktur pelatihan  dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan. Mereka dapat dipilih dari kalangan akademisi, teknisi, maupun praktisi sehingga diklat dapat bersifat teoritis, teknis, maupun praktis.
Selain melalui pelatihan, sekolah juga dapat menugaskan guru/staf untuk mengikuti kursus pengelolaan TIK.  Kursus diselenggarakan oleh lembaga atau organisasi di luar sekolah. Bedanya, Pelatihan  diselenggarakan oleh lembaga atau organisasi pemerintah sedangkan kursus biasanya oleh organisasi berorientasi laba. Karena berorientasi bisnis, lembaga pengelola kursus umumnya berusaha menjual produk jasanya dalam kualitas maksimal yang dapat mereka tawarkan. Umumnya, harga jasa mereka berbanding lurus dengran kualitas jasa yang mereka tawarkan. Jika tidak, mekanisme pasar akan ’bertindak’. Oleh karena mekanisme pasar ini, memilih lembaga kursus yang bermutu relatif lebih gampang dibanding dengan menentukan kulaitas pada sebuah pelatihan, dan biasanya frekuensi pelatihan yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah terbatas.
 Jika sekolah memilih kursus sebagai salah satu cara pengembangan SDM, yang penting dilakukan adalah penyiapan dana yang sesuai dengan mutu kursus yang dipilih. Yang perlu dilakukan oleh sekolah  agar tidak membeli terlalu mahal adalah membandingkan kualitas jasa yang mereka jual dengan jasa sejenis dari penjual lain.
Selain itu sekolah juga dapat melakukan In House Training (IHT).  IHT dilaksanakan sendiri oleh sekolah. Instruktur dapat diambil dari kalangan dalam sekolah atau dari luar sekolah. Karena diselenggarakan oleh sekolah, materi IHT dapat lebih dispesifikasikan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan sekolah penyelenggaranya. Karena diselenggarakan di sekolah, IHT merupakan kegiatan yang sangat mungkin diikuti oleh semua tenaga pendidik dan kependidikan karena disamping murah, mereka juga tidak harus meninggalkan tugas dinas mereka. Disamping itu, IHT juga sangat baik untuk menjadi wahana peningkatan penguasaan materi bagi para instruktur dari dalam sekolah karena menjadi instruktur sesunggguhnya merupakan cara belajar yang sangat efektif. IHT dapat juga menjadi media untuk mempererat hubungan batin antar warga sekolah sehingga ikatan kekeluargaan bisa menjadi lebih baik. Hasilnya, IHT dapat menjadi forum yang baik untuk membentuk kultur baru sekolah atau memperkuat kultur lama yang dipertahankan.
Untuk menghindari masalah mutu seperti yang diungkap dalam diskusi tentang pelatihan, penyelenggaraan IHT perlu taat tujuan dan kualitas perlu dijadikan pusat perhatian. Jika, misalnya, penetapan instruktur dari dalam sekolah dirasa kurang mendatangkan efek peningkatan mutu yang memadai, mendatangkan instruktur dari luar dapat menjadi solusinya; atau sebaliknya.


Sumber : Diklat PUSTEKOM Tentang Penataan Jejaring Sekolah Untuk E-Pembelajaran 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa komentar ya...